Amien Wangsitalaja
--kutandai, inilah ranah sufi
di kota tempat kita menangkar
asmara
aku berhasil
mengukur kerudungmu yang lebar
mengukur rahasia
aku melamunkan kiswah
dan hitam hajar
aku melamunkan hatimu
yang sejak dari ruknul yamani
sudah kuincar
inilah
ranah sufi
bisikku pada gamismu yang besar
saat hujan membuat sadar
ada syahdu datang berdenyar
(saat itu
aku teringat pada sejarah
di kota haram
gerimis pun jarang tumpah)
ssst, ini rahasia
”aku menemukan marwah”
”aku menemukan mar-ah”
lihatlah
kepalaku
tersungkur
di jabal nur
di jabal rahmah
dan di ghari hira
inilah
Amien Wangsitalaja
Mendirikan Malam 1
aku
yang pertama mendengar dendang dinda
pada malam
yang kita ingat ia pernah dibagi tiga
ini mungkin pada sepertiga yang kedua
saat jam beranjak dari angka kosongnya
aku mengaduk tasawuf akhlaq
di dalam tiris nafasmu
yang membasahi ceruk rindu
kemarilah kubisiki, sayang
ada hasrat berundan-undan
semizan syariat seribu bulan
ini mungkin pada sepertiga yang terakhir
kuseduh dzikir kuramu syi’ir
di palung mahabbahmu
di palung mahabbahmu
laut asin mengingatkanku pada khidzir
aku berjanji
aku tidak akan banyak bertanya padamu
senyampang malam
saat kita sepakat melubangi sampan
kemarilah sayang, kubisiki
Mendirikan Malam 2
aku
meminangmu untuk menjadi ‘aisyah
sehabis khadijah
o sayangku, yang kemerah-merahan
tertunduk diam
kita menghitung detak jam
derit daun pintu
dan desah yang disapukan
kita merundingkan bilangan raka’at
di sepertiga terakhir
malam
dan dengan manja
engkau menawar bilangan dzurriyyat
melebihi ’aisyah melebihi khadijah
sepadan angan
o kurasa
aku ingin memukulmu bertubi-tubi
menggemaskan
Amien Wangsitalaja
Pengantin (1)
aku gemas pada hud hud
yang gemetar mengabarkan pesonamu
aku gemas pada pemilik ilmu
yang berhasil menyatakan
singgasana kecantikanmu
lebih cepat dari kedip bola mataku
dan
aku lebih gemas padamu
kerana engkau 'lah sudi mengunjungi
relung istanaku
maka
kutawarkan lantai hati
yang sejernih kolam
sehingga betis asmaramu
tersingkap
Pengantin (2)
aku memang merencanakanmu
menjadi zulaikha
dan saat itu
aku ingin gamisku sobek
di bagian depannya
di bagian belakangnya
sehingga kita tak perlu
merekayasa perjamuan
agar jemari orang-orang teriris pisau
menyaksikan syahwat yang tampan
Amien Wangsitalaja
makinlah rinduku pada laut
manakala
kauceritakan gesekan lempeng bumi
dan ombak kasihmu
saat itu aku terbiasa
bermain buih di pantai yang asin
“aku menelan ikan
kubuat tersesat di lubuk gelap”
senyummu menyelesaikan cerita
antara terpejam mata
lalu kurasa keringat tetes, meresap
ke tanah yang bergetar
ke episentrum
“besok lagi jangan lupa
menjenguk laut”
Amien Wangsitalaja
kurasakan hangat dadamu
hangat dada fatimah
karena kisahku menyerupai bocah
yang berlumuran darah
melintasi gurun
menyeberangi fitnah
o, sapukan nafasmu
segairah nafas ummil bathul
karena aku tak ingin tersungkur
seperti ‘ali, sehabis sahur
mari bersaksi
akulah syahid
engkau syahidah
tanpa ditikam belati
tanpa luka hati
dan kita menjadi tuan dan puan
bagi sejarah
melahirkan bocah-bocah
tanpa racun
tanpa tombak tanpa pedang
tanpa segurat lelah
Amien Wangsitalaja
pada suatu ketika
aku memang menghikmati nafasmu
yang tak memburu
di lantai ulin
kamar tamu saat siang
tempat guring saat malam
kita tak merencanakan cinta
tapi matamu
melebihi buluh perindu
yang kuangankan ada dalam gelas
yang kausajikan untukku
”inilah gadis senja yang merana
terpikul kegundahan yang lama
kata mengalir di dada lembutnya
menebar spora, lembar cinta”*)
o, jangan merana
bukankah rembulan pun memilihmu
—kuingat waktu itu
kita seperjalanan
antara samarinda-bontang
dan rembulan sedang teramat terang
melumat wajahmu sepenuh cemburu
dengan sesekali mengintai di bukit
dan sembunyi di balik dahan—
di lantai ulin
kita tak merencanakan cinta
kerana ia tiba-tiba
sebagaimana pada suatu ketika
kita tiba-tiba bisa bersama
menyaksikan belian
di desa jahab di sudut kotaraja
kutai kertanegara
—ceritamu, kakek dari mama
dahulu
seorang dukun belian juga—
dan kau bercanda
”datangi ia
tidur di depan tariannya
mintalah disembuhkan
dari penyakit cinta”
aku berkerut oleh candamu
tapi tak ragu-ragu
”seperti belian
cinta memiliki kekuatan”
pada suatu ketika
___
*) penggalan bait puisi ”Gadis Senja” Fitriani Um Salva
belian: upacara penyembuhan dalam tradisi orang Dayak
guring: tidur (bahasa Banjar)
Amien Wangsitalaja
jika aku pantas
menuai bahgia ini
izinkan aku
kembali
dan
kusadap rahsia waktu
yang tlah merapuhkan egoku
di hadapan pesonamu
dan
seperti segarnya pagi
kuasyiki keceriaan
rona fitri
Amien Wangsitalaja
kupercaya hadirmu
memperbesar kemungkinan
luruhnya angkuh
redamnya dendam
dan bersama waktu
egoku rapuh
leh pesonamu
ramadhan
Amien Wangsitalaja
--esti
kau menggali lukaku
sedalam kenangan sungai
aku
dengan perahu sampanku
pernah sangat setia menyibak riak
menyisir nostalgia
kala angin semilir atau kencang
kala mentari hangat atau menyengat
dan air pasang
dan air surut
begitulah
terlalu aku menyanjung sampan
menggauli tanjung
kerana bagiku
riwayat sungai
dan ketenangan
amatlah berarti
tapi kenapa
kau menggali lukaku
sedalam kenangan sungai
Amien Wangsitalaja
intiplah bulan itu, ukhti
kerana ia tersenyum
saat kurangkum dalamnya dekap
dan kau mulai bercerita
dengan ceria
tentang tempat
yang purnama bisa makin ada makna
“di kotaku” katamu
ya, di kotamu
di tubuh kotamu
di tubuhmu
dan tidakkah kaulihat
aku sudah mulai membuka pintu
menatap kota
menatap tubuh kota
menatap tubuhmu
“ada makna” kataku
dan kau tersenyum
bersama bulan yang terlihat
dan dalamnya dekap
ya
Amien Wangsitalaja
Habiba dan Pencuri (1)
habiba, kucuri senyum kecilmu
dari dalam keseronokan rumah
yang mengunci sejarah
dan mengemas dongeng sebelum tidur
saat itu
aku masih sering melucu
mengangankan pintu kan mengurungku
habiba, aku telah meraba jendela
saat kuhirup aroma bibir mempelai
yang mengingatkanku pada hujan
yang tak mungkin bisa ditahan
habiba, barangkali delik matamu
tepat menghunjam di jantung sufiku
tapi sempatkah kaukenal
sederhananya angan pencuri?
Habiba dan Pencuri (2)
kau mengingatkanku pada mimpi
yang urung kutafsirkan kemarin malam
begitulah, setiap kuselidik bibirmu
dengan lukisan tipis dari air ilmu
aku tergetar untuk memungut kembali
khasanah nafsu
yang pernah kusimpan di guci waktu
Amien Wangsitalaja
Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (1)
zaujati, inikah rumah kita?
dinding batu runtuh
meja tamu tak lagi utuh
inikah ranjang yang kemarin?
hilang tanda rindu berpagut
Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (2)
ayah
aku dihantui guruh batu
dan kabut debu
saat itu
aku merasakan hati ibu
ayah
ambilkan buku catatanku
di bawah reruntuh dinding dan pintu
saat itu
hadirmu sangat berarti bagiku
Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (3)
aku akan membangun rumah baru
kelak kautahu
rumah yang kaurobohkan dahulu
menyibak pondasi rindu
Amien Wangsitalaja
Perawan Lamin 1
--anna bell
mungkin kauherankan sugunku
ketika kumasuki lamin
dan kusaksikan engkau menari
menari
mengumpulkan mimpi
aku tertegun
pada peluh yang kausangkal
dapat meneguhkan syahwatku
dan sementara geliat tubuhmu
mengetuk-ngetuk lantai
aku tegak
dalam syahwat
dalam sugun
___
lamin: rumah panjang orang Dayak
Perawan Lamin 2
kupanggil saja kamu anna
tapi kamu memang manis
duduk di sisi lamin
menyorongkan manik-manik hati
aku terpedaya
tak kuasa menawar harga rindu
aduh
kupanggil saja kamu anna
kerana aku ingin melihatmu menari
mengepakkan lengan
menyibakkan kaki
aku silap
tak kuasa menjinjing angau
aduh
Amien Wangsitalaja
mengapa harus iri
pada eusideroxylon zwageri
sedang senyum yang pernah kaugenitkan pada sufi
kian menguat oleh hujan dan terik mentari
ini tentu bukan mimpi
saat kusentuh tangga lamin yang bahari
aku telah belajar menakik hati
dan kupastikan sesaat lagi
rambutmu menyibak menggerai
kerana aku mulai mendaki
___
eusideroxylon zwageri: ulin
Amien Wangsitalaja
“bucaros rhinoceros
ngangkasa nerobos eros”
biarkan aku terus menyanjungmu, puteri
dan kuselipkan bulu enggang di sisi kiri
engkau tahu
dan harus tahu
dalam bujukan metafisika yang jalang
aku selalu saja kembali merasa lajang
___
bucaros rhineceros: burung enggang
Amien Wangsitalaja
kerana malam
memaksa kita
menghormati perjamuan
maka kupilih lampion dan piala
sebagai menu pembuka
dan senyummu
terasa mahal
jatuh
di meja bar
dan matamu
menyipit
menyisir cara kerjaku yang rumit
sebagai pramusaji
yang mengasong cawan smara
“cawan smara” katamu
pada akhirnya
Amien Wangsitalaja
betapapun
aku paham tanah ini
orang selalu saja keji
memilirkan kayu
memilirkan hati
Amien Wangsitalaja
Makrifat Sungai 1
aku berkapal, sepagi tadi
sesiang ini
menyusuri sungai
dan kupastikan
bahwa aku tidak pernah
melupakanmu
dari dek ini
kutangkap aurat tepian
yang menjaga genit perawan
mandi berkain basah
berhati basah
amboi
aku kembali memastikan
bahwa syahwatku telah basah
oleh sebab mengintipmu
di sungai
Makrifat Sungai 2
seumpama perawan
engkau berhasil merampas
kelaminku
(di sini
di tepi mahakam
kutanggalkan seluruh pakaian
dan seumpama lelaki
aku bersampan)
ah perawan
sembunyikanlah pakaianku
Amien Wangsitalaja
lakiku
bertiang ulin
merawat tubuh
dari aurat tahun
yeng menyampah
di perairan
di tanah
dalam hitungan waktu
lakiku menyusun rindu
selaiknya perahu
dalam balutan waktu
lakiku berkahwin cemas
bahwa di seberang kalender
debit sungai akan menipis
dan pasang laut
mengasinkan mulut
saat itu
sesiapa pun akan rapuh
oleh takut
oleh mimpi
yang menubuh
tapi memang
lakiku
bertiang ulin
tak terjangkau marah sungai
sebab ia menjangkau
cumbu sungai
Amien Wangsitalaja
la mohang daeng mangkona
melaksanakan titah sultan kutai
sambil menata adat bugis
“orang bugis orang kutai
sama rendah sama semampai”
dan simaklah
jilatan sungai terlalu bergairah
mencumbu lamin mengawini tanah
dan jika saatnya nanti
anak turun pua ado
mendirikan masjid
orang kutai menyusun empat tiangnya
“orang bugis orang kutai
sama-sama menjunjung agama”
lalu
siapa yang akan mulai berani
menjual rumah ibadah
meninggikan atap instansi
sembari merendahkan sejarah?
Amien Wangsitalaja
adil raja karena desanya
lalim raja karena desanya
adil desa karena rajanya
lalim desa karena rajanya
karena itu
raja haruslah menurut mufakat
sekaligus tiang mufakat
begitulah asal sememangnya
walaupun pada nantinya
banyak raja mengarang mufakat
sekaligus membuang mufakat
Amien Wangsitalaja
awang long
ditemani laskar melayu
ditemani pasukan dayak
ditemani laskar bugis
menari
di sungai
“nanda senopati
tahukah engkau hikmah negeri?”
pada coklat air kali
perempuan-perempuan rajin mandi
dan desamu berseri-seri
tapi pada coklatnya juga
engkau tahu
kapal musuh lengkap bertentara
“nanda senopati
tahukah engkau hikmah air kali?”
awang long
di sungai
bukan senopati
Amien Wangsitalaja
Makrifat Acheh 1
ada yang mendekatkanku padamu
seperti cinta mendekatkan pengantin
ada yang mendekatkanku padamu
aroma mayat
mendegupkan tari sufiku
meneguhkan fani tubuhku
Makrifat Acheh 2
kucemburukan
kematian yang memesona
yang mengejutkan religiusitas
yang menghentakkan moralitas
“sejauh manakah kaufahami ujian dan derita
sampai kaukatakan bahwa kau berperikemanusiaan
sejauh manakah kaualami ujian dan derita
sampai kaukatakan bahwa kau telah beriman?”
allah
betapa dungu religiusitas kami
betapa bebal moralitas kami
jika masih saja menawar
untuk mencinta sesama
untuk tak menindas sesama
Makrifat Acheh 3
amboi
tubuh-tubuh yang bergelimpangan
kalian memahatkan kenangan
anak yang kehilangan ibunya
laki yang kehilangan perempuannya
sebagaimana lalu kami pahatkan
kenangan pribadi
tentang sufi yang kehilangan
diri sendiri
Amien Wangsitalaja
ya hayyu ya qayyumu
kalau hari ini tubuhku tercabik, bukan baru hari ini tubuhku tercabik
kalau kali ini badanku terkorban, bukan baru kali ini badanku terkorban
tubuhku telah lama robek oleh keserakahan nafsu
badanku telah lama menjadi korban pertarungan ambisi dan kuasa
arunku, hutanku, kakaoku tak mampu lagi meronta dari luka
orang-orang tak berdosaku tak kuasa lagi mengucap kata
karena popor dan senjata terlalu cepat berbicara
setiap hari nyawa orang menjadi bahan mainan
“buat apa sekolah, nanti juga mati di jalan
ditembak orang
mati tak dikenal”
amboi, betapa akrabnya aku dengan derita dan derita,
kematian dan kematian
ya hayyu
akankah selamanya kaupilihkan bagiku jalan hidup yang seperti ini
akankah hanya dengan coba semacam ini kautinggikan maqam imanku
setahunan lalu, pantai bireuen-ku dikejutkan dengan mayat-mayat
terbungkus karung beras
terdampar dihempas ombak
(mereka adalah yang kaupilih menjadi saksi dari kebiadaban segelintir
yang dibebalkan oleh nafsu kekuasaan)
hari ini, bukan hanya pantai-pantaiku, bahkan segenap sisi kota-kotaku
jalan rayanya, selokannya, tanah lapangnya diratusribui hempasan mayat
(mereka adalah yang kaumuliakan menjadi saksi dari kuasamu
menampar kebebalan nafsu)
tahun-tahun lalu, bukit-bukitku, hutan-hutanku, sungai-sungaiku,
laut-lautku menjadi saksi
dari nyawa-nyawa yang selalu saja melayang tanpa nama
kali ini, dalam sekejap saja, kembali harus kupersaksikan
ratusan ribu nyawa melayang tanpa nama
(kiranya merekalah syahidin
yang ingin kau bergegas merengkuhnya dalam pelukmu)
kemarin dulu, di salah satu kampungku
mayat muzakir abdullah tersampir+terikat di pohon
lehernya tergorok darahnya menoreh di dada
(al hallaj-kah dia
dihantarkan segerombol orang bertopeng yang brutal menyiksanya
tanpa salah dan dosa apa pun telah dilakukannya)
hari ini, beberapa mayat yang tak sempat menyebut nama
tersampir di pohon-pohon di kota-kotaku, tubuhnya membeku biru
(al hallaj-kah mereka
berperantara ombak yang kaukirim untuk menjemput
mereka hanyut kepadamu tanpa salah dan dosa yang menyisa)
ya hayyu
betapa tingginya maqam mereka
yang menghadapmu dengan seketika
yang menghadapmu bersama-sama
ya qayyumu
betapa rendahnya maqam yang lainnya
yang masih saja tak tersentak hatinya
yang masih saja bebal jiwanya
menggenggam nafsu rendah menumpuk amarah
mengumbar kuasa
ya hayyu ya qayyumu
kupersembahkan tubuhku kepadamu
moga kemudiannya
kauselamatkan jiwaku
dari murkamu
2004
____
catatan:
1. data tentang mayat-mayat terbungkus karung beras di pantai Bireuen dan Muzakir Abdullah yang disiksa dan diikat di pohon adalah diambil dari majalah acehkita edisi 15 januari 2004.
Amien Wangsitalaja
ini pengajian tauhid
“asal tajau dari tanah
maka ia mudah pecah”
kami rindu perempuan
mandi berkain basah
di sungai yang masih luput
dari sengketa
aku
—bersama orang-orang
yang tidak terlibat perang
berebut tanah negeri—
mencoba merawat rindu
dan mengaji statistik
kami genggam sejumput bumi
dengan nusea patriotik
kami simpan untuk berkubur
___
tajau: genthong/tempayan
Tajau Pecah: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel
Amien Wangsitalaja
ini pengajian tauhid
“asal tajau dari tanah
maka ia mulia”
kembali ke selera asal
negeri tanpa birahi ekonomi
orang banjar mengaji mandau
orang madura mengaji badik
orang jawa mengaji sabit
tapi tanah terlanjur tandus
buat berladang
dan kami tak punya saham
buat birahi
maka
buat memuliakan negeri
kami membakar bukit
___
tajau: genthong/tempayan
Tajau Mulia: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel
Amien Wangsitalaja
sekerumun etnik
mengasah pisau
menaikkan panji
dan buku sejarah lapuk berdebu
orang tidak membaca
cara musa menjagal pemuda
dan menggiring gembala
(dengan lidah tidak sempurna
ia berkata: ya bani israila)
sekerumun etnik
mengasah pisau
“kata koran, kawan kami
ditikam orang di jalan raya”
sekerumun etnik
menaikkan panji
“seseorang menceramahi kami
seseorang menafkahi kami”
sekerumun etnik
sama sekali
bukan etnik
Amien Wangsitalaja
“kami tak pernah memuja mandau
tak pernah menyanjung badik”
orang kada balampu
tertulis di kitab yaumiyah
mengasuh lapar
tanpa pernah punya pekerjaan
menjarah penghasilan orang
tanpa menghiraukan tanah asal
orang kada balampu
memulakan pertikaian
bukan untuk bertikai
asah badik cabut mandau
bukan menyulut perang
orang kada balampu
tak membunuh madura
banjar, dayak, bugis, jawa
orang kada balampu
semata membunuh manusia
___
kada balampu (bhs. Banjar: tidak berlampu): julukan bagi segerombolan perompak/tukang onar di Kalimantan
Amien Wangsitalaja
seorang syeikh diinterogasi
oleh para aktivis liberalisme & feminisme
karena ia dianggap melanggar HAM
karena ia memaksakan cinta
tapi
seorang syeikh takkan menginterogasi
para aktivis liberalisme & feminisme
meski mereka memaksakan HAM
meski mereka melanggar cinta
(kita paham
seorang syeikh tak mampu berbuat apa
sebab para aktivis liberalisme & feminisme
memiliki funding teramat kuatnya)
Amien Wangsitalaja
sesekali aku
menjamah fatima
mernissi
ia paham syahwat lelaki
fatima mencari nafkah
aku memperindah meja tamu
dan malam datang ringkas
setelah siang diperpanjang
oleh etos kerja
dan ilmu pasti
la raiba
tanpa ragu
kami pun
saling menjamah
Amien Wangsitalaja
perempuan di dalam masjid
tak seorang pun mengalahkannya
kecuali ruhul jihad
di sini siang malam
terjahid perjuangan
uraian dendam dan sahaja
seorang ibu, ibu agama
nikmat air matanya
mengukir sajadah
sebagai pembalut kerja
sebagai pembalut logika
perempuan di dalam masjid
mengulum seluruh sejarah
: melahirkan dua lelaki
la raiba
dialah fatima
dialah zahra
Amien Wangsitalaja
1
tepatkah negara berduka
ketika penguasa yang bijak
menggusur perkampungan warga
lihatlah
beberapa mayat bayi mengapung
di sungai yang berbau limbah
menguarkan kejelataan
2
aku bahkan tak sempat menangis
jika ada gadis manis
ditarik paksa petugas berseragam
hingga sobek badan perempuan
3
hallo
anybody home?
(tidak ada jawaban
syahdan
sufi sedang berganti pakaian)
Amien Wangsitalaja
Sufi dan Kepala Negara 1
seorang sufi
menulis surat kepada kepala negara
wahai kepala negara
aku ingin meringankan bebanmu
memimpin rakyat
caranya: bunuhlah aku
atas nama rakyat
Sufi dan Kepala Negara 2
jika pemimpin negeri
menyuruhmu memikirkan negeri
jawablah: akan kami penuhi
memikirkan negeri
memanglah tugas para sufi
sejak para pejabat dalam birokrasi
tengah sibuk dengan diri sendiri
kemudian
tanpa disuruh pun
telah jatuh kewajiban kepada sufi
memikirkan pemimpin negeri
yang tak mampu
memikirkan negeri
Amien Wangsitalaja
sempatkan dirimu
untuk memikirkan negeri ini
sebagaimana engkau
memikirkan budi dan hati
(kulihat
engkau mulai menulis
sebuku epos atau sebait puisi
tentang keraguanmu
kepada negeri ini
dan keraguan negeri ini
kepada budi dan hati)
dan sebagaimana
engkau meragukan negeri ini
negeri ini pun
meragukan tulisanmu
Sufi, Tuhan, Pejabat Negara, Tentara Bersenjata
Amien Wangsitalaja
sebelum sufi mengenal tuhan
ia takut kepada pejabat negara
ia takut kepada tentara bersenjata
setelah sufi mengenal tuhan
ia takut menjadi pejabat negara
ia takut menjadi tentara bersenjata
Amien Wangsitalaja
aku berdoa untuk halaqahku
sebelum salam sampai
“beri kami kekuatan
untuk bayar pajak
dari tubuh kami yang renta
bagi pejabat yang bijak
mengelola kekayaan negara”
aduh
aku lupa
tidak berdoa untuk halaqahku
“beri kami kekuatan
untuk menjadi warga negara”
Amien Wangsitalaja
1
aku berkabar pada tuan
bahwa cinta memabukkan
sehingga aku terpesona
pada penindasan
kemanusiaan
2
jangan mencari tahu
sebab kemurtadanku
(aku murtad
setelah imanku dibunuh)
jangan mencari tahu
siapa pembunuhku
(aku tetap hidup
bersama fatwa
dan kata-kata)
jangan mencari tahu
rahasia kata-kata
(aku memberi minum
orang yang haus
aku memberi makan
orang yang lapar)
3
saksikan
aku melepas jubah sufi
kugantung bersama syahwat
kemiskinan orang yang tertekan
kesengsaraan orang yang terlibas
aku
tidak berpihak pada sultan
dan tuhan
Amien Wangsitalaja
lagi-lagi
aku ditampar oleh logika kapitalisme
seorang kawan
ingin berkonsultasi tentang rindu
ia mendatangi banyak syeikh
dan tak pernah bisa bertemu
pada puncak pencariannya
ia berkabar
“bila kau
tidak bisa menemu seorang syeikh
belilah seorang syeikh”
kemudian
kawanku tidak pernah lagi
sakit rindu
Amien Wangsitalaja
seseorang
sebab asa ketuhanan
mendengkur
di sudut teka-teki
referensi-referensi glamour
ini kotaku
terbaca oleh atlas kumal
beberapa ruasnya
menyisa tembok tua
yang mengelupas
berberita sejarah pemikiran
kaum selebriti urban
yang etis dan pendendam
dari sebelah labirin rak
selembar kertas tanggal
dan terlempar
tepat di traffic light
lampu kuning
amsal dinamika kota
dalam percepatan komunikasi
dan silaturahmi seluleri
tidak hidup
tapi hidup
(aku membuka literatur
kaidah fiqhiyah yang rumit)
sore berselimut asap dan oktan
dan suatu bacaan
perihal seks yang nyinyir
atau politik yang slapstik
memerdekakan imajinasiku
berkhalwat dengan hantu
wahai
siapa membuka pintu tasawuf
siapa memuja pagar demokrasi
siapa berbekal ilmu transaksi
meneror inspirasi laki-bini?
sementara orang memendam
hasrat untuk kaya-raya
aku sempat membunuh majikan
di sebaris fiksi
berjudul “okultisme dari utara”
atau “kapitalisasi yang adolesen”
ini kotaku
merdu semata
dalam ensiklopedi
Amien Wangsitalaja
Khalifah Ali
--abdurrahman wahid
ali pemimpin cerdas
dari bijaknya
lahir mantiq dan perbalahan
dan akhlaq kekuasaan
dan bukankah
ia ditikam dari belakang?
Khalifah Umar
--abdurrahman wahid
suatu malam
umar mencuri gandum
dari gudang negara
(karena di sudut kampung
si sebuah rumah
seorang ibu memasak batu)
jangan
jangan mencuri gandum
di sini
di negara yang menjunjung
koridor hukum
Irrational Order
--abdurrahman wahid
seorang syeikh
penggenggam rasionalitas mitologi
terbunuh
oleh mitos politik rasional
selamat jalan
syeikh
yang rasional
yang mitos
selamat jalan
Amien Wangsitalaja
aku beroleh inspirasi
dari seorang wali yang naik kretapi
katanya: kretapi tak membawamu
ke mana-mana
karena kretapi pergi pulang melulu
dari mana kembali ke mana
karenanya
dan karenanya
jika engkau hendak belajar pekerti
janganlah ambil ibrah
pada rutinitas
dan kuantitas pulang pergi
tapi ambillah ibrah
pada setianya
setianya
Amien Wangsitalaja
--andien, engkau
jauh dari jangkauan
tapi garis bibirmu
rawan kukenang
apakah engkau belum percaya
bahwa iman perlu diuji coba
dan mahabbah bukan soal coba-coba
dan apakah engkau masih percaya
aku rajin membangun syari’at
kujadikan rumah bagi labil syahwat
Amien Wangsitalaja
sebagai petani
aku suka bertanam ilmu
kemudian
oleh sebab banyak berlatih
serta mengamalkan nasihat fiqh
aku fahim peta sawah
tempat gembur tempat basah
tempat sufi menenggala wahdah
di situ
mawaddah tumpah
di situ
kusibak rahmah
Amien Wangsitalaja
kutunggu kau, teman selingkuh
di sisi taman di sudut perpustakaan
kita kan bercengkerama
sembari memperluas bacaan
sehingga genaplah makna setubuh
hei, tubuhmu menggelembung
aku suka itu
engkau mengandung ilmu
dan engkau pasti percaya
akulah yang memiliki tugas
melahirkan fatwa + merawat berita
Amien Wangsitalaja
Alda
(Belajar Tasawuf 1)
aku tak biasa
nerjemahkan khidmat yang dewasa
sehingga rona ilmiah perempuanmu
meradang di pusat riadlahku
aduh, engkaukah tasawuf itu?
bila kau tiada di sisiku
akulah kanak-kanak paling lucu
Yanti
(Belajar Tasawuf 2)
mencintaimu
menghabiskan seluruh keringatku
rinduku pun heran
nggelandang di sekujur badan fatwamu
pada ketika
sampai aku di ladang syar’i
bulu matamu menari rumi
tasawufkah engkau?
segalanya teramat berarti
Sarah
(Belajar Tasawuf 3)
peluk aku
sebelum kuhamburkan bisi
tentang rahsia bayi manusia
dan bunyi shalawat
cium aku
karena aku petani
bertanam khalwat
menuai fiksi birahi
bawa aku
memanjangi alur kaki bidari
dan tatap yang beringas
dan sungging yang antusias
menduga-duga tasawuf itu
Cici
(Belajar Tasawuf 4)
datanglah sayangku
tubuhku lepuh
oleh peluh ruhanimu
hadirlah kasihku
betapa indahnya
salam dari masyuq
mendamprat asyiq
“kalam ini merindumu”
amboi
seperti tahi lalat
terperincikah tasawuf?
Amien Wangsitalaja
adik
bibirmu
menebal doa
kukenang
iman yang jantan
memanjakan kita
matangkan liar senggama
(kuteguk semangkuk tasawuf
tak sebagai asa yang memalukan)
adik
gigimu
merusak tata-tertib cinta
kukenang
iman yang mulia
tidak akan mengutuk
simpang-siurnya fatwa
(kuteguk secangkir rindu
dengan agak malu-malu)
Amien Wangsitalaja
1
suatu hari
aku menghadiahi kapal mainan
berbahagialah anakku pertama
karena memiliki teman bercanda
kapal itu, kataku
tidak akan berangkat tanpa keyakinan
2
istriku meragukan
makna keceriaan anakku kedua
karena ia tertawa
setelah kapal mainan jatuh terlempar
aku ragu, kata istriku
apakah tiang layar tak bisa patah?
3
segera kusembunyikan kapal mainan
sengaja aku ingin menggoda
agar kedua anakku marah
dan istriku masam-masam cuka
hai, kataku
siapkan pelampung
4
kupikir
aku seorang pelaut
dengan membeli kapal mainan
dan membincangkan laut
tanpa ombak, kataku
laut bukan laut
kupikir
istriku mudah berang
jika kapal mainan sering tenggelam
dan hatinya pun
kukutuk malam, katanya
kenapa orang suka berlayar